Wakaf Produktif dalam Sejarah Islam

  • Share this:
post-title

Oleh: Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar, MA

Ketua DPS Baitul Mal Aceh

Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis sahih, disebutkan bahwa Umar ra. berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah kebun kurma di Khaibar adalah harta yang paling saya cintai dan paling berharga buat saya. Saya ingin menyedekahkannya. Apa yang harus saya lakukan. Rasulullah menjawab, tahan kebunnya dan sedekahkan hasilnya. Umar mengikuti saran Rasulullah, menahan (mewakafkan) kebunnya dan menyedekahkan hasilnya untuk orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Umar memberi izin kepada orang yang dia tunjuk sebagai pengelola (nazir) untuk makan dari hasilnya dengan cara yang baik (pantas) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.’” (HR. Muslim).

Kalau kita melihat dalil Umar ini, maka semua wakaf adalah produktif. Kemudian saya jelaskan sedikit beda wakaf dengan sedekah biasa. Pada wakaf, harta (benda) tidak boleh hilang dan hanya hasil atau manfaatnya yang diambil (diterima) oleh penerima manfaat, sedangkan sedekah biasa boleh dihabiskan, dikonsumsi, dijual, dan sebagainya.

Manfaat wakaf biasanya akan berkelanjutan, sedangkan sedekah mungkin hanya untuk sekali pakai atau jangka pendek. Wakaf mesti benda yang tahan lama, tidak mudah hangus atau rusak, sedangkan sedekah boleh benda apa saja asal bermanfaat. Wakaf memerlukan pengelola (penjaga dan pengembang), sedangkan sedekah boleh tanpa pengelola. Sebagian orang berkata, wakaf masuk kelompok amal filantropi, sedangkan sedekah amal karitatif.

Kemudian, wakaf produktif dari segi pemanfaatannya ada dua macam, pertama wakaf tidak mandiri, yaitu wakaf yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Saya menyebutnya tidak mandiri. Kemudian wakaf mandiri, wakaf yang pemanfaatannya tidak perlu biaya lain.

Wakaf tidak mandiri, misalnya wakaf tanah lalu dibangun masjid, tapi untuk membiayai perawatan masjid tersebut memerlukan biaya lain dari jamaah. Apakah ini bisa disebut wakaf tidak produktif atau produktif? Saya menyebutnya wakaf tidak mandiri.

Jadi istilah produktif perlu kita kaji, baru kita gunakan secara relatif bebas. Tanah yang kita wakafkan untuk masjid dan masjid tersebut bisa membiayai diri sendiri, tanpa sumbangan dari jamaah, perlu dipertimbangkan masuk dalam katagori wakaf produktif.

Para ulama menganggap wakaf sudah dimulai dari contoh yang diberikan Nabi ketika mendirikan Masjid Quba. Beliau membeli tanah seharga seratus dirham dari wali anak yatim Bani Najjar, lalu menyerahkannya untuk pembangunan masjid.

Rasulullah saw. pada tahun ketiga hijriyah membeli kebun kurma milik Mukhairiq (di antaranya kebun A`raf, Shafiyah, Dalal, Barqah) lalu mewakafkannya. Sering disebut pewakafan tujuh kebun kurma di Madinah. 

Sahabat juga melakukan  wakaf yang cukup banyak. Beberapa wakaf sahabat antara lain, Umar bin Khathab mewakafkan kebun kurma di Khaibar, Abu Thalhah mewakafkan kebun kesayangannya Bairaha, Abu Bakar mewakafkan sebuah rumah dengan tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah dan Utsman mewakafkan sumur “Ruman” dan kebunnya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan kebunnya yang subur di Yanbu`, Mu`adz bin Jabbal mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan “Dar al-Anshar” di Madinah. Sahabat lain Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, Aisyah, dan beberapa istri Rasulullah lainnya, juga mewakafkan sebagian hartanya.

Wakaf masa khalifah

Kemudian pada masa Umayyah yang memerintah lebih kurang 100 tahun, banyak sekali dilakukan wakaf dan mencetak uang sendiri. Di masa ini wakaf diadministrasikan dengan baik. Pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, dengan wakaf membangun lembaga pendidikan  dan membayar gaji para guru.

Pemaisuri Zubaidah, pernah membuat saluran air dengan wakaf, yang airnya diisi pada musim haji untuk minum jamaah. Dia menghabiskan sekitar 1.500.000 dirham. Jika kita kalikan 4, jadi senilai 6000 kg emas. Ini diwakafkan oleh pemaisuri Zubaidah pada masanya. Zubaidah juga menghabiskan dana 54 juta dirham untuk membuat pos yang menghubungkan Irak dengan Mekkah. Dia menggali banyak sumur, bahkan ratusan sumur. Begitu juga dia mendirikan beberapa masjid dan jembatan. Ini wakaf paling besar yang tercatat dalam sejarah.

Pemerintah pada masa terdahulu mencampuri sedikit sekali urusan negara. Negara hanya mengurus keamanan luar negeri, tentara, pengadilan pidana, sedangkan peradilan perdata diadili oleh hakim swasta atau arbitrase. Kemudian yang terkait fasilitas umum yang dianggap penting diurus negara, sedangkan masalah lain seperti kesehatan dan lain-lain diurus oleh swasta dan dibiayai dengan dana wakaf.

Disnati Fatimiyyah di Mesir dan Salahuddin Al Ayyubi juga sangat menggalakkan wakaf. Pajak dan cukai yang dikumpulkan oleh Salahuddin Al Ayyubi diwakafkan. Jadi Salahuddin menggunakan uang negara lalu diwakafkan. Saya menganggapnya ini produktif, karena orang bisa mengambil manfaat walaupun bukan dalam bentuk uang, tetapi orang bisa bersekolah dan lain-lain.

Wakaf pada masa dinasti Mamalik mengembangkan wakaf dengan cara memberi izin untuk mewakafkan apapun yang dapat diambil manfaatnya. Ini yang mereka lakukan, termasuk budak yang dulu belum pernah diwakafkan, lalu pada masa dinasti Mamalik budak diwakafkan untuk mengurus  masjid.

Pada masa Bani Usman bermula wakaf keluarga. Seorang ayah mewakafkan tanahnya untuk keturunannya sendiri sampai berapa lama ke bawah, lalu pada ujungnya wakaf keluarga menjadi milik kolektif. Ada satu kampung yang tanahnya dikelola bersama-sama dan menjadi wakaf keluarga (wakaf ahly), mengalahkan tanah milik pribadi.

Kalau kita baca riwayat hidup ulama, banyak ulama berasal dari keluarga tidak kaya, ulama tersebut dibiayai dengan harta wakaf, seperti Imam Syafii yang diduga hidup dari hasil harta wakaf. Jadi sepanjang sejarah awal Islam terlihat peran dan fungsi wakaf cukup strategis dan produktif.”

*Disarikan oleh Juliani dan Sayed MH dari Pelatihan Nazir Seri-2, Kamis, 15 Juli 2021