Tanggung Jawab Konstitusional Baitul Mal

  • Share this:
post-title

Oleh Arif Arham

UUD 1945, dalam Pasal 34 Ayat 1, mengamanahkan “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh Negara." Artinya, tanggung jawab membantu kaum dhuafa bukan pada orang-seorang, tapi pada penyelenggara negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di Aceh, tanggung jawab konstitusional ini turut dijalani Baitul Mal.

Baitul Mal adalah institusi negara, bukan lembaga sosial partikelir. Lembaga keistimewaan Aceh ini memiliki tugas dan fungsi pengelolaan zakat, infak, wakaf, harta keagamaan lain, dan pengawasan perwalian. Zakat dan infak yang dikumpulkan Baitul Mal disimpan dalam kas daerah dan direncanakan penggunaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK). Ini menjadi penegas dan pembeda dengan kedudukan Badan Zakat Nasional (Baznas) di daerah lain. 

Baznas memiliki fungsi yang serupa dengan Baitul Mal, namun berbeda dalam hal pengelolaan anggarannya. Zakat yang dikumpulkan Baznas tidak masuk dalam APBN atau APBD. Baznas Pusat dan daerah memiliki kewenangan mengelola sendiri harta agama yang dikumpulkannya. Klausul “...oleh negara” sebagaimana termaktub dalam konstitusi tidak terpenuhi seluruhnya. Dalam hal ini, “negara” diperankan oleh kementerian yang mengurus bidang sosial. Baznas menjadi pendukung  negara dalam menjalankan amanah konstitusi tersebut.

Adapun Baitul Mal, tugas pengelolaannya dibatasi pada proses perencanaan dan penganggaran daerah seperti sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA) yang lain. Pengawasan dan pelaporannya pun mengikuti manajemen akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Manajemen ini adalah cara instansi pemerintah mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan misi organisasi. Salah satu instrumen yang digunakan adalah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang diatur dalam Perpres No. 29 Tahun 2014 dan Permenpan No. 53 Tahun 2014. SAKIP terdiri dari perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja dan pelaporan kinerja. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan good governance. Karena itu, kehadiran negara menjadi tampak jelas pada posisi Baitul Mal sebagaimana diamanahkan konstitusi.

Namun, patut disadari bahwa menjalankan tanggung jawab konstitusional untuk membantu fakir miskin dan anak-anak terlantar bukanlah perkara sederhana. Amanah yang dititipkan para ulama yang ikut menyusun UUD 1945 itu perlu dijalankan Baitul Mal dengan sungguh-sungguh. Wujudnya berupa komitmen untuk menjaga kepercayaan publik,  kapasitas adaptif, serta proses kerja yang tepat dan gesit.

Penting bagi pemerintah untuk membangun kepercayaan publik dalam program bantuan sosial. Hal ini dapat dilakukan Baitul Mal, baik di provinsi atau kabupaten/kota, dengan bersikap transparan tentang bagaimana program didanai dan bagaimana manfaatnya didistribusikan. Hal ini juga dapat dilakukan dengan tanggap terhadap kebutuhan penerima manfaat program. Kepercayaan pemangku kepentingan zakat, infak, dan wakaf dapat diraih dengan melibatkan mereka dalam merancang dan melaksanakan program santunan dan pendayagunaan. Ini termasuk penerima manfaat, mitra kerja pendampingan, nazir, dan organisasi lain yang terkena dampak program. Dengan melibatkan pemangku kepentingan, Baitul Mal dapat memastikan bahwa program-program tersebut responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang dirancang untuk dilayani.

Kepercayaan publik juga ikut mempengaruhi pengumpulan zakat dan infak. Ini dapat diraih dengan pengelolaan program-program Baitul Mal secara transparan dan akuntabel. Artinya, lembaga konstitusional ini harus terbuka tentang berapa penerimaan harta agama yang terkumpul dan bagaimana manfaatnya didistribusikan. Penghargaan Komisi Informasi Aceh (KIA) pada tahun 2022 dengan memasukkan Baitul Mal Aceh dalam kategori "Informatif" adalah awal yang baik untuk meraih kepercayaan publik. Ini perlu dipertahankan.

Selain itu, Baitul Mal harus tanggap terhadap kebutuhan penerima manfaat program. Kapasitas adaptif ini diperlukan agar dana umat dapat secara efektif mampu beradaptasi dengan perubahan. Untuk itu, Baitul Mal harus mampu merespon perubahan ekonomi, tren demografi, dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun Bappenas dan Bappeda Aceh.

Terakhir, hal yang patut dievaluasi agar Baitul Mal dapat berperan lebih besar dalam menjalankan amanah konstitusionalnya adalah pembenahan kelembagaan. Secara kelembagaan, Baitul Mal diatur oleh Qanun No. 3 tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Qanun Aceh No. 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal. Model kelembagaan yang diatur di dalamnya sudah memadai untuk menjalankan fungsi pengelolaan harta agama. Ada Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) yang bersifat kolektif kolegial, Badan yang juga bersifat kolektif kolegial, dan Sekretariat. Masalahnya, alur proses kerjanya bisa lebih lambat dibandingkan model organisasi perangkat daerah (OPD) yang berbentuk dinas atau badan. Dengan kondisi sekarang, Baitul Mal menjadi terasa “tambun”. Satu sisi, penapisan (filter) perencanaan dan pelaksanaan program menjadikan Baitul Mal lebih berhati-hati, namun di sisi lain, ini menyebabkan kegesitan Baitul Mal berkurang.

Penyelenggara negara di ranah legislatif perlu membantu untuk membenahi kelembagaan Baitul Mal. Landasan berpikir yang dipakai adalah bahwa ini adalah lembaga keistimewaan yang perlu secara tepat dan gesit melayani fakir, miskin, anak telantar, dan mustahik lainnya. Tidak ada contoh atau preseden di OPD daerah lain, karena itu orang Aceh perlu mengaturnya sendiri untuk mencapai maqasid syariah tersebut.

Salah-satu yang patut dijadikan panduan adalah bahwa program penyaluran bantuan sosial memerlukan kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan ini harus berkomitmen pada tujuan dan sasaran program, dan harus mampu mengelola sumber daya program secara efektif. Artinya, administrasinya harus efektif dan efisien sejak pengambilan keputusan hingga implementasinya. OPD berbentuk dinas dengan pengawasan syariah dari DPS dapat dipertimbangkan.

Masyarakat Aceh patut bersyukur dengan keberadaan Baitul Mal. Semangat untuk membantu kaum dhuafa tidak lagi sekedar pekerjaan personal, tapi menjadi tanggung jawab komunal melalui penyelenggara negara. Tanggung jawab konstitusional ini perlu terus dijaga dan diimplementasikan dengan baik. Kesempurnaan takkan didapat, tapi perbaikan terus-menerus adalah ikhtiar kita untuk mewujudkan ketaqwaan kepada Allah dan kecintaan kepada negara.*