Mewarisi Kebaikan Infak

  • Share this:
post-title

Oleh Abdul Rani Usman 
Anggota Badan BMA

Kebaikan diartikan sebagai keyakinan yang benar, tindakan membantu sesama dengan niat tulus, dan menginfakkan harta di jalan Allah. Infak menjadi kebaikan ketika seseorang menyisihkan sebagian hartanya untuk membantu sesama.

Infak tidak hanya memberikan manfaat langsung kepada penerima, tetapi juga membawa kebaikan yang berkelanjutan. Kebaikan ini terwujud dalam tindakan memberikan harta kepada yang membutuhkan, kerabat, anak yatim, ibnu sabil, dan orang dhuafa. Kebaikan ini menjadi semangat bagi mereka yang membutuhkan, dan Allah memberikan pahala yang tak terhenti serta berlipat ganda kepada orang yang berinfak.

Allah berfirman: “Perumpaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 261). Allah melipatgandakan pahala bagi mereka yang berinfak untuk kepentingan umum menjadi seratus kali lipat. Hal ini berarti pahala tersebut mengalir kepada orang yang berinfak, dan manfaat dari kebaikan tersebut diberikan Allah kepada mereka yang berinfak. Kebaikan berinfak disertai dengan niat yang tulus untuk membantu orang lain dalam berbagai bentuk, termasuk pemberian uang atau makanan untuk kepentingan umat. Menerima makanan atau kebutuhan mendesak memiliki makna yang besar bagi orang yang menerimanya.

Menurut Shihab, dalam ayat 261 surat Al-Baqarah, Allah menyatakan agar orang yang berpunya tidak merasa berat membantu, karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh dan berkembang dengan berlipat ganda. Perumpamaan yang sangat mengagumkan terjadi ketika orang-orang dengan tulus menafkahkan harta mereka di jalan Allah, mirip dengan keadaan yang mengagumkan ketika seorang petani menaburkan butir benih. Sebuah benih yang ditanamnya tumbuh menjadi tujuh butir, dan pada setiap butirnya terdapat seratus biji. Ayat ini memberikan dorongan kepada manusia untuk berinfak. Pelipatgandaan tersebut tidak hanya sebatas tujuh ratus kali, melainkan lebih dari itu, karena Allah terus menerus melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki (Shihab:2007).

Perumpamaan yang disebutkan dalam Firman Allah pada Surat Al-Baqarah ayat 261, menurut Shihab, mengindikasikan bahwa memakmurkan negeri mewajibkan manusia untuk bergerak, bekerja keras, dan berusaha. Karena manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, kerjasama antar sesama sangat dibutuhkan. Membantu sesama berarti mewarisi kebaikan yang tak ternilai dalam upaya memakmurkan dunia melalui praktik infak. Keinginan untuk mewarisi kebaikan menjadi lambang dari tekad manusia untuk saling berbagi, serta menciptakan kemakmuran melalui tindakan berinfak.

Dijelaskan dalam Hadis Nabi: Riwayat dari Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang bersedekah sebanding dengan satu butir kurma dari hasil usahanya yang baik, dan tidak akan naik kepada Allah kecuali yang baik, maka Allah pasti menerimanya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian, Allah akan memeliharanya untuk pemiliknya, sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya, sampai pada suatu waktu sedekah itu akan menjadi seperti gunung" (HR. Bukhari). Korelasi antara Firman Allah dalam ayat 261 surat Al-Baqarah dengan Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini sangat relevan. Tamsilan dalam hadis tersebut menggambarkan bahwa seseorang yang bersedekah dan berinfak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Jika infak dilakukan secara bertahap, bahkan dengan jumlah yang kecil, pahalanya akan menumpuk seperti gunung.

Mewarisi Kebaikan

Kebaikan, atau yang dikenal dengan istilah Al-Bir dalam agama, adalah sikap orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi. Mereka juga memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, serta untuk memerdekakan hamba sahaya. Selain itu, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji, dan bersabar dalam menghadapi kemelaratan, penderitaan, serta di masa perang. Mereka adalah orang-orang yang benar dan bertakwa (Al-Baqarah:177).

Kebaikan yang sejati adalah iman kepada Allah dan hari kemudian, serta keyakinan pada malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Namun, kebaikan yang lebih sempurna adalah ketika seseorang bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya demi kebaikan orang lain. Ini terwujud dalam tulusnya pengorbanan harta yang dicintai, dengan tujuan meraih kasih sayang Allah, untuk membantu kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir yang membutuhkan bantuan, orang yang meminta-minta, serta memberikan sumbangan untuk memerdekakan hamba sahaya, baik yang dijualbelikan maupun yang ditawan oleh musuh atau kehilangan kebebasannya akibat penganiayaan. Selain itu, kebaikan juga mencakup melaksanakan shalat dengan benar sesuai syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya, serta menunaikan zakat tanpa menunda-nunda, setelah sebelumnya memberikan harta yang dicintai, selain dari zakat (Shihab:2007).

Kebaikan lain yang disebutkan dalam ayat 177 surat Al-Baqarah adalah ketika seseorang menepati janji, bersabar dalam menghadapi penderitaan, termasuk tidak melarikan diri dalam situasi peperangan. Itulah tanda orang yang bertakwa.

Mewarisi kebaikan yang dianalisis dalam artikel ini adalah kebaikan untuk mengorbankan materi demi kepentingan umat, yaitu melalui infak. Memberikan bantuan kepada yang membutuhkan sangat dianjurkan dalam agama, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah 177, termasuk membantu kerabat seperti saudara sekandung atau kerabat dari masa sekolah. Seseorang yang memiliki kerabat dekat yang mengalami kesulitan finansial, misalnya, diwajibkan untuk memberikan pertolongan. Anjuran ini sesuai dengan ajaran Firman Allah dan Hadis Nabi. Selain itu, memberikan dukungan kepada anak yatim adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Al-Quran banyak menyebutkan tentang hak-hak anak yatim. Selain itu, orang miskin yang membutuhkan juga wajib mendapatkan infak, selain dari zakat. Hal yang serupa berlaku untuk orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang ditawan, dan orang yang dijualbelikan. Pengorbanan yang ditujukan untuk kebaikan semacam ini dapat berupa infak, selain dari kewajiban membayar zakat.

Mewarisi semangat pengorbanan melalui infak dapat diterapkan oleh seorang Ulul Albab, ulama, tengku, dosen, guru, pejabat, atau saudagar. Strategi pewarisan ini melibatkan komunikasi terbuka, di mana seorang ayah, sebagai contoh, yang berniat untuk berinfak sebaiknya memberitahukan kepada keluarga, termasuk anak-anak dan istrinya, tentang niat baiknya tersebut. Ayah dapat menjelaskan bahwa berinfak adalah ajaran agama yang menganjurkan untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Pola pewarisan infak ini bukan hanya sebuah konsep, melainkan praktek nyata yang menjadi strategi pewarisan melalui keluarga.

Sebagai contoh, dalam keluarga yang mampu, jika seorang ayah berniat untuk berinfak, ia dapat memberi tahu keluarganya bahwa seseorang seperti Amin, yang merupakan teman ayah di masa lalu, membutuhkan bantuan. Ayah dapat menjelaskan bahwa ia ingin memberikan sedikit uang atau bentuk lainnya kepada kerabat lama. Strategi ini tidak hanya diumumkan kepada keluarga, tetapi juga mempererat hubungan antara keluarga dan kerabat, menciptakan ikatan yang akrab dan berlanjut dalam silaturahmi.

Berinfak tidak hanya membawa pahala, tetapi juga dapat meningkatkan kesehatan dan kebahagiaan bagi mereka yang berinfak. Pada intinya, harta yang diinfakkan akan dilipatgandakan oleh Allah, sesuai dengan janji-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 261 dan Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dengan semakin banyaknya orang yang berinfak, diharapkan masyarakat Islam dapat mencapai kesejahteraan. Wallahu a'lam.

Tags: