Risiko Menunda Zakat

  • Share this:
post-title

Oleh: Dr. Abdul Rani Usman, M.Si
Anggota Badan BMA

Zakat merupakan kewajiban bagi orang kaya untuk membantu fakir dan miskin. Zakat erat hubungannya dengan pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran sehingga zakat menjadi salah satu rukun Islam yang ditunaikan dan tidak boleh ditunda penundaannya. Zakat wajib bagi orang kaya karena di dalam harta mereka ada bagian kaum dhuafa. Kewajiban zakat berbeda dengan rukun Islam yang lain. Zakat adalah harta yang dimiliki orang kaya yang disyariatkan untuk membantu kaum yang lemah, diantaranya fakir dan miskin. 

Perencanaan, pengumpulan,  dan penyaluran zakat akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Penyaluran zakat demi kemaslahatan umat diantaranya ditujukan untuk membantu individu dan memberantas kemiskinan ekstrem secara menyeluruh, karena tanggungjawab sosial yang membentuk kesatuan dan kemaslahatan umat menjadi prioritas atas dasar pembangunan manusia secara kaffah dan tasamuh. Konsekuensi logis dari zakat dapat membina kemakmuran dan kesetaraan di mana pun manusia itu berada. Artinya, ketakwaan seseorang diukur bukan saja dari shalatnya, akan tetapi ada kewajiban sosial yang ditunaikan oleh orang kaya untuk membantu orang fakir-miskin melalui zakat.

Tidak Menunda Zakat

Menyegerakan  menunaikan zakat tepat waktu apabila sudah mencapai nisab dan haul menjadi prioritas. Menurut Imam Karkhi dari ulama Hanafi, “Zakat wajib dikeluarkan dengan segera karena suatu perintah menghendaki dilakukannya dengan segera. Sesungguhnya zakat itu diwajibkan karena kebutuhan orang-orang fakir yang sifatnya langsung, karenanya kewajibanpun harus bersifat langsung pula. Zakat itu ibadah yang berulang-ulang, maka tidak boleh mengakhirkan sampai datang waktu kewajiban zakat lainnya, seperti shalat dan puasa“ (Qardawi, 2007:811). Terkait dengan kebaikan, maka Islam menganjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan di mana saja muslim berada (QS al-Baqarah: 148). Kesegeraaan menunaikan zakat selain terpuji juga untuk menghindari dari mencampuradukkan harta antara halal dan haram. 

Menurut mazhab Maliki, diperbolehkan mendahulukan mengeluarkan zakat dengan tenggang waktu yang sebentar pada zakat emas, perdagangan yang diputar, dan utang yang diharapkan dibayar dari hasil penjualan bukan pinjaman.  Yang paling kuat adalah satu bulan, sehingga tidak boleh mendahulukan lebih dari padanya (Qardawi, 2007: 813). Alasan membolehkan mempercepat mengeluarkan zakat berdasar sebuah hadis, yang  diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sedekah manakah yang paling besar pahalanya? Nabi menjawab, ‘Engkau bersedekah ketika engkau sehat dan merasa (kikir) lagi takut miskin dan mengharapkan kekayaan dan engkau tidak menundanya sampai apabila ruh telah sampai di kerongkongan, lalu engkau berkata, untuk si fulan segini dan untuk si fulan segini, dan itu menjadi milik si fulan.” (HR Bukhari). 

Menyegerakan zakat menjadi perhatian bagi muzaki untuk ditunaikan dengan berpedoman kepada landasan umum yang disabdakan Nabi. Bersedekah ketika manusia masih sehat, takut miskin, dan  mengharapkan tidak menundanya sampai menjelang nyawanya keluar. Maknanya, berzakat, bersedekah ataupun kebaikan yang lainnya dianjurkan segera dilakukan ketika kita masih sehat, mampu, dan diberi kekayaan oleh Allah, sehingga tidak menundanya sampai waktu menjelang kematian. Alasan dibolehkan mempercepat mengeluarkan zakat dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud, bahwa Abbas bertanya kepada Rasulullah saw dalam mempercepat mengeluarkan sedekahnya, sebelum datang wakatu satu tahun, maka Nabi mengizinkannya terhadap hal itu (Qardawi, 2007: 814). 

Mempercepat membayar zakat telah dilaksanakan pada masa Rasulullah. Menyegerakan menunaikan zakat bukanlah syariat yang baru, akan tetapi praktik tersebut telah dijalankan pada masa Rasulullah. Menurut Mazhab Hanafi, mengakhirkan zakat selain dalam keadaan darurat, maka orang yang mengakhirkan harus disuruh membaca kembali syahadat, ia berdosa (Qardawi, 2007: 819). Secara syariat mengakhirkan menunaikan zakat merupakan suatu dosa dan diminta mengucap syahadat kembali, demikian menurut Mazhab Hanafi.  

Merujuk kepada Sabda Nabi dan penafsiran Qardawi, Pemerintah Aceh telah menyusun qanun tentang institusi Baitul Mal. Pembayaran zakat penghasilan  berupa gaji dan imbalan jasa lainnya dapat dilakukan setiap bulan pada saat menerima pendapatan/jasa, apabila jumlah pendapatan/jasa yang diterima setiap bulan telah mencapai satu per dua belas dari 94 (sembilan puluh empat) gram emas atau dibulatkan menjadi 7,84 (tujuh koma delapan puluh) gram emas (Qanun Aceh Nomor Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Baitul Mal  sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Baitul Mal). Dasar menyegerakan zakat demi menjaga kesucian dan kemurnian harta dan demi membela kaum dhuafa dan menjaga agar harta tidak bercampur aduk dengan harta yang lainnya.

Syariat Islam ini sebagai realisasi dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yaitu fakir-miskin, anak yatim, dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara. Dinamika sosial kemasyarakatan dimaknai oleh Pemerintah Aceh dalam bentuk institusi yang sah dan bermakna bagi kesejahteraan umat. Konsekuensi logis dari pemaknaan undang-undang ini menjadikan wewenang BMA semakin kuat dalam mengelola zakat di Aceh. Amanah undang-undang dan pemaknaan terhadap Bhinneka Tunggal Ika menjadi dasar dalam mengelolaan sistem sosial dan kemakmuran di Indonesia.

Praktik di Aceh

Salah satu fenomena menarik setelah diberlakukannya Qanun Aceh tentang Baitul Mal, semua ASN di bawah Pemerintah Aceh diwajibkan membayar zakat melalui Baitul Mal. Di awal pemaknaan zakat sesuai zaman, ada ulama yang tidak mewajibkan zakat dari ASN, karena di masa Rasulullah belum ada pegawai negeri. Namun setelah mendapatkan pencerahan dari ulama dan sosialisasi qanun oleh BMA, maka Pemerintah Aceh dapat menerapkan qanun,  sehingga semua ASN pada Pemerintah Aceh gajinya secara otomatis dipotong zakat apabila gajinya mencapai Rp 6,9 juta/bulan. 

Di samping itu, semua kontraktor yang mendapatkan pekerjaan dari Pemerintah Aceh juga membayar infak melalui BMA. Kesadaran menunaikan infak rekanan menjadi modal dasar bagi pengusaha dalam menjalankan syariat Islam. Artinya, kekuatan hukum dan peran pemerintah di Aceh sangat mendukung pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dalam hal ini, qanun BMA dapat diterapkan sesuai dengan regulasi yang ada di Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional, khususnya bidang kemiskinan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. 

Namun demikian,  hasil kajian  internal  di BMA, muzaki yang menunaikan zakat melalui  BMA masih didominasi ASN dan kontraktor. Sebagian pengusaha muda juga sudah mulai menyetorkan zakat ke BMA. Sedangkan tokoh keagamaan masih sedikit yang menunaikannya.  Maknanya, amil BMA perlu memperkuat dakwah zakat kepada tokoh keagamaan. Untuk iyu, pemaknaan zakat secara kaffah dan sesuai konteks zaman memerlukan kampanye yang sistematis dan holistik, khususnya kepada tokoh agama, sehinga risiko menunda pembayaran zakat atau tidak menunaikan zakat melalui amil resmi negara tidak terjadi.  Wallahua'lam.

Editor: Sayed M. Husen