Pemetaan Wakaf

  • Share this:
post-title

Oleh Arif Arham
(Amil Baitul Mal Aceh)

Dalam Islam, wakaf merupakan ibadah sosial yang sangat dianjurkan. Pahala berwakaf akan terus ada walau wakif (orang yang berwakaf) sudah wafat. Tapi, pahala akan lebih besar jika aset wakaf bermanfaat untuk kehidupan masyarakat dengan mendayagunakannya untuk kegiatan produktif. Karena aset wakaf umumnya ada di permukaan bumi, maka salah-satu pekerjaan awal untuk mencapai tujuan (maqasid) syariah itu adalah pemetaan wakaf.

Pemetaan wakaf sudah menjadi agenda Baitul Mal Aceh (BMA) sejak 2021 ketika BMA memulai pekerjaan besar pemberdayaan wakaf. Pertanyaan yang muncul pertama kali adalah "Di mana aset wakaf yang perlu didayagunakan itu? Siapa nazir yang mengelolanya? Apa potensi pengembangannya?" Dari keingintahuan ini, serangkaian proses ditindaklanjuti BMA.

Rangkaian proses yang dibutuhkan untuk pemetaan wakaf adalah identifikasi aset, survei lapangan, pembuatan peta, dan analisis pembuatan kebijakan.

Identifikasi

Identifikasi aset wakaf dapat dimulai dengan mengambil informasi dari lembaga/organisasi terkait. Kementerian Agama, misalnya,  memiliki Sistem Informasi Wakaf (siwak.kemenag.go.i) yang menghimpun data wakaf seluruh Indonesia. Di Aceh, Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) dan Baitul Mal Gampong (BMG) juga dapat menjadi sumber awal informasi aset wakaf yang ada di wilayahnya.

Data aset wakaf yang diambil dari berbagai sumber dihimpun dalam format tabel sesuai kebutuhan. Setidaknya, tabel identifikasi awal memuat nama aset wakaf, nama nazir, pemanfaatan aset, dokumen hukum yang ada (Akta Ikrar Wakaf dan sertifikat tanah).

BMA menggunakan data awal dari arsip BMA sendiri, Kemenag, dan Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) untuk identifikasi aset wakaf. Dari data ini, diketahui gambaran awal jumlah dan aset wakaf yang tercatat di BMA dan aset wakaf yang dikelola masyarakat di seluruh Aceh. Dari sini, direncanakan jumlah dan lokasi aset yang akan disurvei.

Survei

Survei lapangan diperlukan untuk memverifikasi data hasil identifikasi awal. Di lapangan akan didapatkan data lokasi, ukuran, dan kondisi aset wakaf yang sesuai fakta untuk perumusan rekomendasi (evidence-based finding and recommendation) pendayagunaan aset wakaf.

Tanah yang diwakafkan memiliki koordinat, luas, dan batasan deliniasi dengan tanah masyarakat di sekitarnya. Saat survei, batas-batas tanah diukur secara akurat. Tim survei akan menggunakan alat seperti pemetaan GPS, pita pengukur, dan instrumen lainnya untuk menentukan luas, bentuk, dan batas-batas tanah wakaf.

Dalam praktek yang dilakukan BMA, survei menggunakan formulir pendataan yang memuat lokasi (alamat, koordinat), nama aset wakaf, luas, tahun, legalitas, wakif, alamat wakif, penerima manfaat wakaf (mauquf 'alaih), nilai aset tanah, dan nilai aset gedung. Formulir satu halaman ukuran folio itu dilengkapi juga dengan foto kondisi aset wakaf saat kunjungan lapangan. Selain itu, petugas survei dapat menggunakannya untuk mencatat permasalahan, potensi, peluang pengembangan, mitra potensial, dan rekomendasi.

Namun, ada perbedaan antara survei untuk aset wakaf yang dikelola BMA dan aset wakaf masyarakat.

Untuk tanah wakaf yang berada dalam pencatatan dan pengelolaan BMA, dilakukan kunjungan lapangan dan pertemuan dengan nazir gampong yang memanfaatkan aset wakaf itu dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Dari segi pendayagunaan, nazir gampong dapat melaporkan perkembangan harta wakaf selama ini dan persoalan yang mereka hadapi. Adapun dari segi sertifikasi, BPN dapat membantu mengukur luas tanah, membuat patok batas tanah, dan menerbitkan sertifikat tanah wakaf pada aset yang belum memilikinya.

Sedangkan untuk tanah wakaf di masyarakat, BMA memperbaharui data pada formulir sesuai informasi nazir setempat. Jika tanah tersebut belum memiliki sertifikat, maka akan disarankan kepada nazir untuk mengurusnya di BPN. Begitu pula jika Akta Ikrar Wakaf belum ada, maka nazir bisa berkonsultasi dengan Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan untuk kejelasan status nazir dan mauquf 'alaih.

Peta

Data yang dikumpulkan dari survei lahan di lapangan dapat digunakan untuk membuat peta wakaf. Peta dapat dibuat menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi peta digital ini memudahkan pekerjaan membuat (digitasi), menyimpan, memperbaiki, menganalisis, dan menampilkan hasilnya.

Sebuah objek di permukaan bumi tidak saja memiliki koordinat yang menunjukkan lokasinya, tapi juga informasi tambahan yang menjelaskan objek tersebut. Karena itu, peta wakaf mencakup informasi tentang batas-batas tanah, topografi, dan hal-hal lain sesuai kebutuhan.

Dalam GIS, sebuah poligon yang menggambarkan tanah wakaf memiliki informasi (attribute data) koordinat, luas, dan informasi tambahan seperti yang tertera di formulir pendataan tadi. Poligon ini dihitung luasnya secara otomatis. Jika survei dan digitasi benar, maka luas di lapangan dan di peta akan sama. Dengan demikian, karena apa yang tergambarkan di peta mencerminkan di lapangan, peta wakaf dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan.

Dalam hal pembuatan peta wakaf, BMA sudah memulainya dengan memasukkan data titik koordinat lokasi aset wakaf beserta informasi tambahan yang telah diverifikasi saat survei lapangan. Data spasial ini dapat dilihat di laman portal GIS Pemerintah Aceh (acehgis.acehprov.go.id).

Namun demikian, peta wakaf BMA belum lengkap secara geografis karena aset wakaf yang ditampilkan belum berbentuk poligon, tapi masih berupa titik (poin) sesuai koordinat yang ada di formulir pendataan. Sebagai contoh, tanah wakaf seluas 1320 meter persegi di Gampong Dakuta, Aceh Utara. Garis batas lahan ini mestinya tampil persegi panjang sesuai keadaan lapangan, bukan hanya titik. Karena itu, perlu pembaharuan data di masa mendatang.

Analisis

Rangkaian proses pemetaan wakaf, mulai dari identifikasi awal, survei lapangan, hingga pembuatan peta, perlu dilanjutkan dengan analisis untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang potensi dan kendala yang terkait dengan aset wakaf yang bersangkutan. Informasi ini digunakan untuk memvisualisasikan data secara geografis, mengidentifikasi pola atau tren tertentu, dan mengidentifikasi peluang atau tantangan dalam pengelolaan wakaf. Analisis ini bermanfaat untuk membantu pemerintah, lembaga terkait, dan nazir dalam mengembangkan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan terkait dengan pemberdayaan wakaf.

Analisis dalam pemetaan wakaf melibatkan berbagai aspek, di antaranya aspek hukum dan administrasi serta ekonomi dan sosial.

Aspek hukum dan administrasi mencakup pemahaman tentang kerangka hukum yang mengatur wakaf dalam suatu negara atau wilayah. Ini termasuk peraturan tentang pendirian, pengelolaan, dan penggunaan wakaf.

Pemetaan yang dilakukan BMA pada aset wakaf di beberapa kabupaten/kota menemukan bahwa ada wakaf yang belum memiliki Akta Ikrar Wakaf yang diterbitkan oleh KUA. Ada pula tanah wakaf yang belum bersertifikat. Tapi, patut disyukuri juga karena tidak sedikit nazir yang sudah melengkapi dokumen administrasi yang diperlukan untuk kepastian status aset wakaf.

Dari hasil di atas, BMA dapat membuat kebijakan yang mendorong perbaikan kinerja nazir dalam hal melengkapi dokumen administrasi yang diperlukan. Tentu, perlu keterlibatan pihak lain yang terkait. Pengukuran tanah dan penentuan patok batas-batasnya, misalnya, bisa dibantu Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada saat nazir mengurus sertifikat tanah wakaf.

Untuk membina para pemangku kepentingan wakaf, BMA menindaklanjutinya dengan pelaksanaan lokakarya (workshop ) dan bimbingan teknis. Ini dapat menjadi langkah awal yang tepat untuk menghidupkan semangat nazir dalam memberdayakan wakaf.

Aspek ekonomi dan sosial juga dapat dikaji dari pemetaan wakaf. Aspek ini mempelajari dampak ekonomi dari properti wakaf, termasuk potensi pendapatan yang dihasilkan dari properti tersebut dan bagaimana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk tujuan wakaf yang diinginkan. Selain itu, aspek sosial mempertimbangkan dampak sosial dari wakaf, seperti kontribusi wakaf terhadap masyarakat, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum.

Dalam hal ekonomi dan sosial, BMA memiliki peluang besar untuk ikut mendayagunakan aset wakaf. Dengan menggunakan pemetaan wakaf, BMA dapat mengidentifikasi properti wakaf yang belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Dari sana, bantuan modal dapat diberikan untuk menjadi stimulus bagi nazir. Diharapkan, ke depan nazir dapat mengurangi ketidakefisienan dalam pengelolaan wakaf dan meningkatkan manfaat yang dihasilkan dari wakaf tersebut.

Pada akhirnya, pemetaan wakaf berperan penting dalam memastikan pengelolaan yang lebih baik dan optimal dari wakaf serta memungkinkan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan terkait dengan penggunaan wakaf untuk kepentingan masyarakat secara luas.*