Optimalisasi Pengumpulan Zakat Penghasilan

  • Share this:
post-title

Oleh. Hendra Saputra, SHI, M.Ag
Staf Baitul Mal Aceh

Zakat merupakan ibadah maliyah yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh mustahiq (penerima zakat). Perkembangan objek pengumpulan zakat terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dengan munculnya berbagai bentuk pekerjaan/profesi baru yang salah satunya ialah kewajiban zakat penghasilan.

Zakat penghasilan merupakan pengeluaran wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Zakat penghasilan ini juga dikenal dengan istilah zakat profesi maupun zakat pendapatan.

Pandangan Ulama

Berkaitan dengan zakat penghasilan terdapat beberapa ijtihad para ulama, diantaranya: Pertama, Fatwa Ulama  Dunia dari hasil Muktamar I tentang Zakat di Kuwait, 29 Rajab 1404 H/30 April 1984, salah satunya ialah menyepakati kewajiban zakat profesi/penghasilan. Kedua, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan, tanggal 6 Rabiul Akhir 1424 H/7 Juni 2003 M, Ketiga, Fatwa Ulama (MUI) Aceh tentang Wajibnya zakat dari sektor jasa atau gaji yang diputuskan dalam rapat komisi B (Fatwa/Hukum) Nomor 01/1998, hari jum’at tanggal 2 Rabiul Awal 1419 H/26 Juni 1998 M, antara lain berbunyi : pembayaran/pemungutan zakat gaji tersebut dianjurkan pada setiap kali memperoleh penghasilan sebagai ta’jil/taqsith. Disamping itu, terdapat beberapa pendapat ulama lainnya berkenaan dengan kewajiban zakat penghasilan seperti Yusuf Qaradhawy, dalam bukunya Fiqh Zakat, Al Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’, Sayid Qutub dalam Tafsir Fi Dhilalil Qur’an dan sebagainya. 

Namun demikian karena ini merupakan hasil ijtihadiyah masih terdapat beberapa ulama yang tidak sependapat dengan kewajiban zakat penghasilan, namun fakta di lapangan telah banyak membantu masyarakat dalam menjalani kehidupan dan peningkatan perekonomiannya, khususnya asnaf zakat yang merupakan sasaran dalam pendistribusian dan pendayagunan zakat. Oleh sebab itu, perbedaaan pendapat tersebut kiranya dapat menjadi rahmat sebagaimana hadits nabi: Ikhtilafi ummati rahmat  (perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat). Dengan demikian, kiranya dana umat ini dapat dioptimalisasikan pengumpulannya agar dapat membantu problematika umat Islam.   

Zakat Penghasilan Dalam Regulasi   

Regulasi berkaitan dengan Zakat Penghasilan secara nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 4 ayat (2) huruf h yang mengatur zakat penghasilan bagian dari zakat mal yaitu Pendapatan dan jasa. 

Di Aceh, Zakat Penghasilan terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal (Qanun Baitul Mal), Pasal 98 ayat (1) huruf c yang berbunyi : zakat yang wajib dibayar salah satunya ialah kewajiban zakat penghasilan. Kemudian lebih rinci lagi berkaitan dengan zakat penghasilan diatur dalam pasal 98 ayat (4), yaitu : a. Usaha perdagangan; b. usaha pertanian; c. usaha peternakan; d. usaha pertambangan; e. usaha perindustrian, perkebuhan, perikanan dan segala macam usaha lainnya yang hasil usahanya bernilai ekonomis dan menjadi komoditas perdagangan; f. usaha jasa profesi; dan g. gaji dan imbalan jasa lainnya.

Selanjutnya derefatif dari Qanun tersebut diatur dalam  Peraturan Gubernur Aceh Nomor 08 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Zakat Dan Infak Pada Baitul Mal Aceh, tanggal 21 Sya’ban 1443/24 Maret 2022. Adapun berkaitan dengan zakat penghasilan terdapat dalam pasal 9 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), sebagai berikut: 

(1)  Zakat yang menjadi kewenangan BMA adalah: a. zakat mal: b. zakat penghasilan: dan c. zakat rikaz. 

(3)  Zakat penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari setiap orang yang beragama Islam atau Badan Usaha yang dimiliki oleh orang Islam dan berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh.

(4) Zakat Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari: a. Aparatur Sipil Negara (Pemerintah Aceh/Aparatur Sipil Negara Instansi Vertikal): b. Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, c. Koperasi: dan d. karyawan swasta di Aceh. 

(5)  Zakat penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi hasil: usaha perdagangan, usaha pertanian, usaha peternakan, usaha pertambangan, usaha perindustrian, perkebunan, perikanan dan usaha lainnya yang hasil usahanya bernilai ekonomis dan menjadi komoditas perdagangan, f. usahajasa profesi: dan g. gaji dan imbalan jasa lainnya.

 (6) Zakat rikaz sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan harta karun yang ditemukan

Optimalisasi Pengumpulan Zakat Penghasilan 

Pemerintah Republik Indonesia sangat memberikan perhatian terhadap optimalisasi pengumpulan zakat, disamping adanya regulasi, juga terdapat Instruksi Presiden Republik Indonesia yang diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerimaan zakat, yaitu Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat Di Kementerian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Dan Badan Usaha Milik Daerah Melalui Badan Amil Zakat Nasional, tanggal 23 April 2014. 

Hal yang sama juga dilakukan di Aceh. Pemerintah Aceh  juga sangat serius dalam optimalisasi pengumpulan zakat, disamping Peraturan Gubernur sebagaimana telah diuraikan di atas, juga terdapat beberapa kebijakan lainnya seperti: 

Instruksi Gubernur Aceh Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pemotongan Zakat Dari Gaji Dan Honorarium Bagi Setiap PNS Dan Pejabat di Lingkungan Pemerintah Provinsi NAD Yang Beragama Islam dan Telah Mencapai Nishab.

Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 451.12/43594, tanggal 19 Agustus 2013 tentang Pemungutan Langsung Zakat dan Infak oleh Bendahara Umum Aceh (BUA) di Lingkungan Pemerintah Aceh. 

Surat Edaran Gubernur Nomor 180/11860, tanggal 3 Agustus 2022 tentang Himbauan Menyetorkan Zakat Ke Baitul Mal Aceh dan Membentuk Unit Pengumpul Zakat serta melaporkan Zakat secara Sukarela kepada Baitul Mal Aceh. 

Surat Gubernur Aceh Nomor 451.12/47937, tanggal 25 Oktober 2013, perihal Pengumpulan Zakat oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.  

Surat Gubernur Aceh Nomor 451.12/32797, tanggal 19 September 2014, perihal Optimalisasi Pengumpulan Zakat

Implementasi kebijakan tersebut di atas dapat terlihat dari peningkatan zakat yang dikumpulkan Baitul Mal Aceh (BMA), yaitu tahun 2018 Rp. 54 M, tahun 2019 Rp. 59 M, tahun 2020 Rp. 57 M, tahun 2021 59 M dan yang terakhir tahun 2022 Rp. 61 M.  Disamping zakat, terdapat Infak dan Harta Keagamaan lainnya yang berhasil dikumpulkan BMA yang jumlahnya siginifikan tidak kalah banyak dengan dana zakat yang dikumpulkan. 

Disamping itu, terdapat beberapa kegiatan lainnya yang dilakukan BMA dalam optimalisasi pengumpulan zakat seperti Sosialisasi dan Edukasi Kesadaran Ziswaf, Pembinaan dan Koordinasi Baitul Mal Kabupaten/Kota, Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan SDM, Pengembangan Data, Informasi Baitul Mal, pembuatan video sukses story mustahik, film dokumenter dan sebagainya yang bertujuan untuk menggugah muzakki menunaikan zakatnya ke BMA.  

Harapan Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan.  

Kewajiban zakat dalam UUPA memberikan keistimewaan kepada Aceh daripada Provinsi lainnya di Indonesia, yaitu “Zakat yang dibayar menjadi pengurang terhadap jumlah Pajak Penghasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak.” Sebagaimana terdapat dalam pasal  192.

Masyarakat Aceh terus bertanya-tanya mengapa UU yang telah ditetapkan, belum bisa dijalankan. Pemerintah Aceh terus berupaya untuk mengimplementasikan pasal 192 ini agar di Aceh tidak mengalami double tax (pungutan ganda zakat dan pajak), namun hingga kini belum dapat dilaksanakan karena belum ada izin dari Pemerintah Pusat. Padahal UUPA merupakan UU yang berlaku azas Leg Spesialis, yang hanya berlaku untuk Aceh.

Permasalahan ini secara perlahan sepertinya mulai redup, bahkan dalam beberapa pertemuan yang membahas tentang Implementasi UUPA, pasal ini nyaris saja luput dalam pembahasan. Bila terus terjadi, maka dapat dipastikan pasal ini hanya akan menjadi hiasan atau pajangan dalam UUPA semata, tanpa ada Implementasi. Semangat untuk menjalankan syariat Islam dengan dukungan UUPA yang merupakan UU yang sangat spesial bagi masyarakat Aceh, sepertinya hanya akan menjadi dongeng belaka.  

Sekiranya masyarakat Aceh secara bersama-sama mendorong dan berdoa, agar aparatur di Pemerintah Pusat dapat terbuka hatinya untuk mencermati kembali pasal 192 UUPA ini, agar kekhususan yang terdapat dalam UUPA ini dapat dirasakan. Semoga dengan adanya implementasi pasal 192 UUPA, Optimalisasi pengumpulan zakat penghasilan dapat lebih maksimal. Wallahu ‘alam bi ash shawaf.