Nazir Ujung Tombak Pengelolaan Wakaf

  • Share this:
post-title

Oleh: Prof. Amelia Fauzia, MA, Ph.D

Direktur Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Pengelolaan wakaf di Indonesia sejak masa lampau hingga kontemporer terus beradaptasi dan bertransformasi, yang didorong oleh perkembangan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, aturan negara atau pemerintah dan nazir menjadi tombak.

 

Pertanyaannya, kapan fenomena wakaf produktif muncul di Indonesia? Apakah pada masa krisis politik dan ekonomi, wakaf justru menurun? Untuk melihat perubahan ini, kajian sejarah menjadi penting untuk mengetahui kilas balik perkembangan wakaf serta memahami persoalan dan tantangan untuk melakukan inovasi pengelolaan wakaf. 

 

Wakaf dalam sejarah awal nusantara sudah ada dalam bentuk wakaf khairi dan wakaf ahli. Ada keragaman bentuk aset wakaf seperti tanah, masjid, sawah, kebun, sekolah dan makam. Mayoritas wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan umumnya bisa dikatakan tidak produktif.

 

Aceh menyumbang wakaf yang sangat besar, diantaranya wakaf pemondokan Baitul Asyi di Mekah. Juga ada pemondokan dari masyarakat Banten, Pontianak, dan Riau. Dulu, mayoritas wakif berasal dari kelas ekonomi atas (kelompok elit). Pada saat itu, perkembangan wakaf terkait dengan ekonomi dan mazhab fikih wakaf.

 

Di bawah pemerintahan kolonial, wakaf semakin masif mulai abad 19 dalam bentuk wakaf masjid dan pesantren. Pada masa Belanda, mulai ada pencatatan wakaf pada tahun 1906 oleh pejabat Kantor Urusan Agama.

 

Potensi dan tantangan pengelolaan wakaf sangat ditentukan oleh kapasitas nazir. Potensi kemajuan wakaf di Indonesia sangat tinggi, dimana ijtihad fikih wakaf yang kontekstual mulai muncul. Sudah ada pula penguatan nazir wakaf profesional dengan adanya inovasi lembaga filantropi Islam. Juga adanya dukungan pemerintah di antaranya dengan pembentukan BWI dan  BMA di Aceh.

 

Saya melihat, tantangan perkembangan wakaf cukup tinggi, diantaranya, pemahaman fikih yang lemah, mayoritas nazir yang paruh waktu dan belum memiliki manajemen pengelolaan yang baik, administrasi/birokrasi yang lemah, serta perubahan ekonomi yang perlu terus direspon oleh fikih dan peraturan (regulasi).

 

*Disarikan oleh Juliani dan Sayed MH dari presentasi pada Pelatihan Nazir Secara Vitual, 8 Juli 2021