Oleh: Tim
Verifikator BMA
Baitul Mal
Aceh (BMA) menurunkan tim verifikasi calon mustahik korban kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dan anak telantar ke Sabang, Banda Aceh dan Aceh Besar,
tanggal 19-21 Agustus 2021. Anggota tim terdiri atas Shafwan Bendadeh (tenaga
profesional), Hayatullah Zuboidi (tenaga profesional), Yusrizal (relawan amil)
dan Sayed M Husen (analis wakaf). Kami melakukan verifikasi empat mustahik di
Sabang, empat di Banda Aceh dan lima mustahik di Aceh Besar.
BMA
mendapatkan data yang telah direkomendasikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh dan DP3A kabupaten/kota. Data itu terdiri atas
perempuan dan anak yang mengalami
kekerasan dalam rumah dan anak yang ditelantarkan oleh orang tua. Ada juga anak
yang dipertemukan kembali dengan orang tua setelah berpisah dalam asuhan orang
lain belasan tahun.
Dari 13
calon mustahik yang kami verifikasi seluruhnya berasal dari keluarga miskin
dengan tingkat kedalaman kemiskinan berbeda-beda. Menarik juga dikaji
selanjutnya, mengapa kasus KDRT dan anak telantar lebih banyak kasusnya dari
kalangan masyarakat bawah, atau data dari masyarakat kelas menengah jarang
terekspose. Bisa jadi mereka cukup mandiri menyelesaikan masalah, tanpa harus
lebih banyak campur tangan negara.
Tiga
perempuan sebagai kepala keluarga (janda) menjadi perhatian kami di Sabang,
Banda Aceh dan Aceh Besar. Keluarga pertama, tinggal di gubuk sederhana
memiliki dua anak. Anak paling besar perempuan kelas V Sekolah Dasar dari suami
pertama, yang tak diketahui lagi keberadaannya lebih enam tahun. Anak kedua
laki-laki dari suami kedua yang telah berpulang ke Rahmatullah. Sehari-hari
bekerja mengupas pinang milik orang lain. Tidak memiliki aset tanah dan
penghasilan tetap.
Keluarga
kedua memiliki tiga anak, yang paling besar perempuan kelas tiga Sekolah Dasar
dan paling kecil dalam kondisi kekurangan gizi. Berpisah dengan suami karena
tak sanggup membayar nafkah dan dalam kondisi sakit-sakitan. Sementara ini
tinggal menumpamg di rumah pesuruh sekolah. Sehari-hari bekerja sebagai buruh
bakar arang batok kelapa. Tidak ada aset tanah dan lain-lain. Penghasilannya
tak cukup untuk membiayai tiga anak.
Sementara
keluarga ketiga, tinggal di rumah sewa dengan biaya Rp 4 juta pertahun bersama
dua anak perempuan. Anak yang tua kelas satu aliyah di sebuah dayah. Mantan
suaminya tersangkut kasus pidana dan saat ini sedang menjalani hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan. Dia mengaku berutang biaya pendidikan dengan dayah Rp
2,5 juta dan denda kredit sepeda motor Rp 5 juta. Sehari-hari menjadi tukang
cuci pakaian.
Ketiganya
terlihat bagaikan perempuan tangguh yang siap hidup dan membiayai putra-putri
mereka hingga nasibnya akan lebih baik di masa akan datang. Tak terlihat rasa
menyerah dan menyesal sebagai kepala keluarga yang harus memikul tanggungjawab
dan beban memimpin keluarga. Bahkan dari anak-anak mereka terpancar harapan
yang terbaca dari pengakuan mereka. “Tamat SD, saya mau masuk pesantren di
Banda Aceh.” Anak satu lagi memiliki cita-cita yang tinggi: “Tak perlu kita
pulang kampung, kita akan ke Turki,” katanya.
Pertanyaannya,
bagaimana ZISWAF berfungsi optimal memberdayakan tiga keluarga ini? ZISWAF
memang solusi terhadap problema yang dihadapi perempuan sebagai kepala keluarga
di atas. Merekalah yang membutuhkan fasilitasi negara untuk berdaya dan mampu
keluar dari masalah yang diderita.
Mereka dapat bertransformasi menjadi keluarga yang sejahtera dengan
fasilitas ZISWAF.
Tiga janda
ini membutuhkan rumah yang layak huni, peningkatan kapasitas/keterampilan,
memiliki penghasilan tetap (modal usaha dan pendampingan), serta biaya
pendidikan anak hingga mandiri. Dalam waktu singkat, di antara mereka ada yang perlu bantuan uang
tunai untuk membayar utang. Ketiga mereka memiliki anak tertua adalah
perempuan, yang secara budaya lebih cepat membutuhkan rumah layak huni.
Tak ada
kesulitan bagi BMA mengintervensi tiga keluarga ini, bahkan keluarga serupa di
seluruh Aceh. Selama ini, BMA memiliki program pendidikan/beasiswa, bantuan
peralatan kerja, pelatihan keterampilan, dan bantuan terpadu berkelanjutan
melalui Zakat Family Development. Dengan program terakhir diharapkan dapat
menyelesaikan masalah satu keluarga secara konprehensif.
Justru yang
belum ada pengalaman, bagaimana BMA melakukan pengadaan tanah untuk dapat
membangun rumah layak huni. Dinas terkait pun mensyarakatkan warga memiki
tanah. Tak ada tanah, rumah kapanpun tak bisa dibangun. Untuk itu, diperlukan
kebijakan atau inovasi program, misalnya penggalangan tanah melalui program
wakaf atau infak tanah untuk kaum miskin. Donator dapat wakaf/infak tanah menurut
kemampuan masing-masing. Inilah bentuk saling membantu dalam kebaikan
(ta’awun).
Catatan
penting dari lapangan, ternyata transformasi mustahik menjadi muzakki
diperlukan pendampingan. Perempuan sebagai kepala keluarga membutuhkan relawan
pendamping untuk memastikan proses pemberdayaan dan transformasi berlangsung
sinergis dan berkelanjutan. Pendamping berperan sebagai motivator, mengawal
proses, membangun kolaborasi dengan instansi terkait dan mengevaluasi tahapan
perubahan yang dicapai mustahik.
Perempuan
sebagai kepala keluarga adalah bagian dari wajah bangsa ini, yang membutuhkan
empati kita, kedermawanan, pemberdayaan dan bahkan penegakan hukum. Sehinga
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan penelantaran anak semakin
berkurang dari tahun ke tahun. Penyakit sosial masyarakat pun semakin
berkurang. Harapan terakhirnya mereka tentu saja, ZISWAF menjadi bagian dari
solusi persoalan kehidupan mereka.[]