Bantuan Produktif Solusi Penurunan Angka Kemiskinan

  • Share this:
post-title

Oleh: Hayatullah Pasee

Ketika ada yang menyebutkan masyarakat Aceh masih dibalut kemiskinan, pernyataan itu akan ada yang bantah, sebab menandakan penguasa belum berhasil menekan angka kemiskinan. Sebaliknya, ketika diklaim Aceh sudah kaya, tapi masih banyak warga berpendapatan rendah dan hidup di rumah tak layak huni.

Jika kita sedang berada ibu kota provinsi Aceh, tidak sedikit mobil mewah mondar-mandir bermacam merek, bahkan ada merek yang tidak ada di provinsi lain, namun ada di Aceh. Lalu, kita berjalan di pedalaman Aceh, kita harus menitikkan air mata melihat kehidupan mereka yang masih jauh dari kesejahteraan. Jangankan untuk membangun rumah, untuk makan sehari-hari saja masih jauh dari berkecukupan.

Pada penghujung tahun 2017, penulis mewakili Baitul Mal Aceh bergabung dalam tim verifikasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) ke Kabupaten Bireuen. Dalam tim itu selain Baitul Mal Aceh juga ada dari Dinas Sosial Aceh berserta tim Bappeda Aceh sebagai leading sektor kegiatan tersebut.

Data yang kami verifikasi merupakan Basis Data Terpadu (BDT) tahun 2015 sebanyak 1.026 rumah, khusus untuk Kabupaten Bireuen. Tujuannya untuk memastikan keabsahan data tersebut serta meng-up date berapa rumah yang sudah dibantu. Namun juga diinstruksikan jika dalam perjalanan terdapat rumah yang tidak layak huni sesuai kriteria RTLH juga harus didata oleh tim.

Fakta di lapangan, jumlah RTLH yang tidak masuk BDT hampir mencapai 10 kali lipat. Sedangkan waktu yang diberikan untuk tim hanya enam hari. Misalnya dalam satu desa, di BDT hanya satu rumah, namun RTLH di desa tersebut ada sekitar sembilan lagi yang harus didata.

Rumah-rumah mereka masih beratap rumbia, dindingnya ada yang terbuat dari anyaman bambu, begitu juga lantai masih dari tanah yang digelari plastik bekas spanduk kempanye Pilkada. Yang mebuat terenyuh, ada satu rumah yang penulis verifikasi, begitu dibuka pintu, terlihat sepasang bocah berusia sekitar 4-5 tahun sedang melahab nasi tanpa lauk-pauk.

Yang mirisnya lagi, sebagian besar mereka pernah kena tipu oleh oknum yang mengaku perpanjangan tangan pemerintah di provinsi. Mereka diminta menyerahkan uang di atas Rp5 juta agar proses pengurusannya cepat selesai. Lalu pemilik rumah menjual barang-barang berharga seperti emas, kambing bahkan sapi mereka. Namun si oknum ini hanya datang membawa semen sekitar 10 sak dan satu truk pasir cor untuk meyakinkan tuan rumah, habis itu tak pernah lagi nampak batang hidung si oknum.

Faktor-faktor Kemiskinan

Data dari BPS RI menunjukkan Aceh mendapat predikat sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera. “Secara nasional, Aceh berada di peringkat ke-enam termiskin setelah Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan Gorontalo. Periode Maret 2017 sebesar 16,89 persen. (bps.go.id, Senin (17/7/2017).

Amatan penulis, ada beberapa faktor mengapa Aceh dalam kemiskinan, antara lain;  Pertama, mewarisi kemiskinan, rata-rata mereka miskin dari orang tuanya yang miskin, sehingga ada anekdot di masyarakat bahwa kemiskinan di Aceh sudah menurun. Iya, dari orang tua turun ke anak, dari anak turun ke cucu.

Kedua, malas, sifat ini membuat kebanyakan mereka miskin, padahal Aceh dikenal dengan daerah yang subur dan banyak lahan tidur. Umpanya, tatiek jeneurob pih timoh (Pohon kayu berukuran lengan remaja yang ditancapkan untuk penguat pagar pun bisa tumbuh), apalagi yang sengaja ditanam dan dirawat dengan baik.

Jika mereka beralasan tidak memiliki lahan sendiri, meminta pinjam pakai lahan orang pun juga akan diizinkan. Yang penting mau beruasaha, istilah orang Aceh tapak jak urat meunari, asal rajin Allah akan berikan rezeki.

Ketiga, terbiasa, seakan mereka sudah nyaman dengan kemiskinan. Mereka tak terlalu berfikir untuk mendapatkan penghasilan lebih, yang penting bisa mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Sulit Mengategorikan Miskin

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Bojonegoro mengatakan, sejak September 2016, penghasilan penduduk yang menjadi batas garis kemiskinan yakni Rp 361.990 per kapita per bulan. (Kompas, 06/07/2017).

Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI), ada 14 kriteria masyarakat miskin di Aceh dua di antaranya yaitu Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan dan jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

Bagi daerah lain, kondisi ini sudah dikategorikan miskin, namun tidak untuk Aceh. biarpun rumahnya reyot, di Aceh belum tentu miskin, bisa jadi boinah (harta kekayaan dalam bentuk tanah) mereka banyak. Kalau kita tanya berapa luas tanah bapak? Dijawab sambil menunjukkan dengan dagu mereka. Artinya begitu luas.

Namun mengapa mereka tidak mau membangun rumah, kan bisa saja mereka jual beberapa petak, mereka beralibi kalau membangun rumah sendiri tidak akan mendapatkan bantuan pemerintah lagi. Namun sebaliknya, ada juga yang rumahnya bagus tapi mereka miskin.

Solusi Aceh Kaya

Satu sisi tidak salahnya pemerintah memberikan bantuan rumah untuk fakir miskin, namun sampai kapan? Jika mereka diberikan rumah, tidak memutus mata rantai kemiskinan mereka. Boleh saja diberikan rumah, tapi untuk mereka yang uzur, tidak bisa produktif lagi. Namun bagi masyarakat yang masih kuat bekerja, mereka tepatnya diberikan bantuan produktif. Meminjam istilah Prof Aliyasa’ Abubakar MA, untuk masyarakat miskin jangan dikasih ikannya, tapi berikan pancing. Kalau dikasih ikan akan habis, namun jika diberikan pancing, mereka bisa memancing setiap hari.

Untuk saat ini pemerintah tidak perlu capek berfikir program apa untuk memutus mata rantai kemiskinan, karena sudah ada beberapa konsep pemberdayaan ekonomi produktif seperti yang dilaksanan Baitul Mal Aceh yang diberi nama Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) Produktif.

Program ZIS Produktif selama ini memberikan pinjaman modal usaha tanpa bunga (qardhul hasan) kepada masyarakat miskin yang memiliki usaha kecil. Dana yang diberikan minimal Rp2 juta per orang, maksimal Rp10 juta. Program ini bertujuan selain meningkatkan usaha mereka juga untuk meminimalisir rentenir di Aceh. Hal serupa pernah dilaksanakan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh dalam memberdayakan masyarakat miskin dengan progam grameen bank-nya.

Hanya saja, program ZIS Produktif di Baitul Mal Aceh masih memiliki beberapa kekurangan seperti; pendampingan terhadap mustahik yang sudah dibantu masih minim, kekurangan dana, dan belum terpolanya jenis usaha mereka, serta tidak ada marketing untuk memasarkan produk mustahik ini.

Kendala lain di Baitul Mal Aceh selama ini ruwetnya aturan pengelolaan zakat, ditambah lagi pelayanan administrasi yang seakan dipersulit, serta dana operasional yang masih sangat minim.

Jika pemerintah serius memberi perhatian untuk program ini, pertama memplotkan anggaran lebih termasuk operasional yang memadai, membentuk tim pendampingan yang handal, serta tim marketing yang baik.

Apabila ini program ini sukses, maka secara tidak langsung pemerintah telah menciptakan lapangan pekerjaan. Selama dana otsus masih melimpah, Aceh belum mampu menciptakan industri satupun, sedangkan dana otsus sendiri memiliki usia yang terbatas.

Bisa jadi, ketika usianya berakhir, namun Aceh belum mandiri dengan Pendapan Asli Daerah (PAD)-nya, maka untuk bayar gaji pegawai negeri saja tidak akan mencukupi. Mari kita berpikir!

*Hayatullah Pasee, Kasubbid Sosialisasi Baitul Mal Aceh, Peminat isu sosial politik,  Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry.

Email: hayatullahjurnalis@gmail.com

Tags: