Dinamika Amil BMA

  • Share this:
post-title

Oleh: Dr. Abdul Rani Usman, M.Si
Anggota Badan BMA

Amil merupakan petugas yang merencanakan strategi pengumpulan zakat guna mendapatkan zakat dan sedekah dan menghitungnya serta menyalurkannyan sesuai dengan ketentuan syariat. Amil zakat adalah seseorang yang ditugaskan oleh pemerintah atau lembaga zakat sesuai dengan metode pengumpulan yang dirancang sebelumnya. Secara syariat, negara sebagai pelaksana pemerintah menugaskan amil yang terhimpun dalam lembaga Baitul Mal. Jika dilihat dari struktur negara, maka Baitul Mal menjadi sebuah lembaga yang mengatur jalannya dana zakat sebagai pendapatan negara. Artinya, jika Baitul Mal dikelola negara, maka peredaran dan pemasukan negara sangat banyak, karena umat Islam berkewajiban membantu kaum dhuafa.

Baitul Mal menjadi lembaga keuangan syariah yang membantu umat yang lemah. Terkait dengan asnaf amil, disebutkan secara kongkrit dalam surat at-taubah ayat 60 yaitu tujuan yang ketiga disalurkan zakat adalah amil. Amil yang dimaksudkan adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya, pencatat sampai penghitung dan membagi kepada mustahiknya (Qardawi, 2007:545). Amil zakat menjadi sangat subtansial dalam pengumpulan dan penyaluran zakat.

Sedangkan bagaimana cara Islam menugaskan amil zakat dapat dilihat dalam hadis Nabi sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abu Humaid As-Sa’idi, Ia berkata, “Rasulullah SAW mempekerjakan seorang lelaki dari Al-Asad untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Ia dipanggil Ibnu Al-Lutbiyyah. Maka ketika ia telah datang, beliau melakukan perhitungan dengannya.”(HR. Bukhari). Manajemen zakat telah dilakukan Rasulullah dengan menugaskan Al-Asad menjadi amil. Artinya, manajeman zakat secara sistem telah dipraktikkan Rasulullah.  Rasulullah sebagai pemimpin dan khalifah telah mencoba mengurus zakat secara terstruktur dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia pada masa Rasulullah. Pengumpulan dan penyaluran zakat secara profesional berjalan seiring dengan dinamika sosial pada masa tertentu. 

Terkait manajemen zakat, Khalifah Ali melanjutkan cara khalifah sebelumnya. Namun Khalifah Ali menjadi menonjol dengan kelembutan hatinya dalam melayani amil. Saudah bertutur, “Saya memuai Amirul Mukminin untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul zakat. Ketika saya berdiri di depannya, ia berkata kepada saya dengan penuh kelembutan, ‘Ada yang Anda perlukan? Saya mengadukan petugas tersebut kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa kepada Allah SWT, ‘Ya Allah! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas manusia dan tidak meminta mereka menya-nyiakan keadilan-Mu. Lalu ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan kata-kata, ‘Timbang dan ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat dengan ukuran kurang, dan janganlah menyebarkan bencana di muka bumi. Setelah Anda menerima surat ini, tahanlah barang-brang yang Anda urusi sebagai cadangan sampai orang lain datang dan mengambil alih tugas itu dari Anda (Al-Azizi, 271-272).

Manajemen Baitul Mal secara prinsip keadilan dan etika produktivitas telah dijalankan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Strategi pelayanan yang dicontohkan menjadi model bagi masyarakat Islam sampai saat ini. Pelayanan sebagaimana Khalifah Ali patut dicontohkan oleh semua Baitul Mal. Konsekuensi logis amil adalah memungut zakat secara perintah agama dan memeliharanya dengan baik, memproduktifkannya, melayani muzakki dan mustahik dengan kasih sayang dan kelembutan. Manajemen zakat diteruskan oleh khalifah lainnya di dunia Islam termasuk di Indonesia dan di Aceh. 

Amil Baitul Mal Aceh 

Indonesia sangat memperhatikan kaum miskin, dapat dilihat dari pasal 34 yaitu fakir-miskin serta anak yatim dipelihara negara. Secara negara, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sedangkan di Aceh zakat, infak dan sedekah dikelola oleh Pemerintah Aceh, tercantum dalam  UUPA tahun 2006 pasal 191-192. Pengelolaan zakat, infak, sedekah dan harta agama lainnya di Aceh tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Mal Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Baitul Mal. Artinya, regulasi terkait manajemen Baitul di Aceh dianggap sempurna, sehingga menjadi panduan bagi Baitul Mal Aceh (BMA) khususnya amil secara keseluruhan dalam pengelolaan zakat di Aceh. 

Syarat Amil

Penulis zakat termasyhur abad ke 21, Yusuf Qardawi menulis  syarat menjadi amil, hendaklah seorang muslim, mukallaf (dewasa sehat akal dan pikirannya), memahami hukum-hukum zakat, kemampuan untuk melaksanakan tugas. Sebagian berpendapat boleh mengangkat kerabat sebagai amil zakat. Khalifah Ali r.a  telah mengangkat petugas-petugas zakat Nabi s.a.w dari keluarga Bani Abbas. Pekerjaan yang pantas dilakukan oleh laki-laki maupun wanita, juga tidak dilarang oleh syariat dilakukan wanita. Sebagian ulama mensyaratkan amil orang merdeka, namun sebagian membolehkan yang selainnya (Qardawi: 2007).

Sedangkan amil yang didefinisikan DPS BMA adalah petugas zakat dan kegiatan operasional yang diperlukan, tetapi tidak dibiayai oleh APBA atau APBK. Sedangkan kriteria praktis makna amil adalah petugas pengumpul, pengelola, dan atau penyaluran; serta kegiatan operasional, pengumpul, pengelolaan dan atau penyaluran (SK DPS-BMA, 2023). DPS BMA merincikan definisi, krteria praktis sampai menentukan jumlah untuk senif ini maksimal 12,5% dari zakat yang terkumpul. 

Manajemen amil di BMA terdiri dari Dewan Pertimbangan Syariah (DPS), Badan Baitul Mal Aceh (BMA), Aparatur Sipil Negara (ASN), Tenaga Profesional, Tenaga Kontrak, Relawan, dan Pendamping Program. Qanun Aceh tentang Baitul Mal menyebutkan amil terdiri dari DPS, Badan dan sekretariat. Amil BMA sebagai disebutkan dalam Qanun Baitul Mal terdiri dari DPS (Dewan Pertimbangan Syariah) Badan BMA Baitul Mal Aceh dan Sekretariat. 

DPS BMA merupakan unsur yang memberikan pertimbangan dan pengawasan terhadap syariah. Badan BMA merupakan unsur penyusun dan pembuat kebijakan untuk penyelenggaraan pengelolaan dan pengembangan di Aceh. Sedangkan Sekretariat merupakan unsur pelayanan dan penyelenggara pengelolaan dan pengembangan di Aceh. Sedangkan Tenaga Profesional merupakan tenaga non ASN yang karena keahliannya diangkat untuk membantu pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan BMA. Di samping itu ada  juga tenaga kontrak, relawan, dan pendamping program yang direkrut setiap saat apabila dibutuhkan. 

Fenomenologis Amil BMA

Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) menjadi pemegang kunci dalam memberikan pertimbangan dan pengawasan syariah. Artinya, DPS memberi masukan, pertimbangan dan pengawasan terhadap penyusunan kebijakan yang dibuat oleh Badan BMA. Sedangkan Badan BMA membuat perencanaan, menyusun dan membuat kebijakan untuk penyelenggaraan BMA di Aceh. Sedangkan Sekretariat BMA memberi pelayanan guna terlaksananya penyelenggaraan, pengelolaan dan pengembangan BMA di Aceh. Di samping itu ada Tenaga Profesional untuk membantu pelaksaan tugas, fungsi dan kewenangan BMA. Terakhir adanya tenaga kontrak, relawan, dan pendamping program yang bekerja dan bertanggung jawab kepada Sekretariat. Kesemua amil tersebut diberi honor dari APBA. Sedangkan  honor amil relawan  diambil dari asnaf amil dan honor tenaga pendamping dari sumber infak. 

Secara sistem manajemen amil BMA telah diatur sedemikian rupa dalam Qanun Baitul Mal dan sesuai dengan dinamika muzakki dan mustahik di Aceh. Unsur DPS, Badan, Sekretariat, Tenaga Profesional, relawan, dan pendamping bekerja berdasarkan  sistem sesuai dengan petunjuk yang berlaku. Sistem manajemen bersifat dinamis dan kebijakan diambil berdasarkan konsultasi, koordinasi, dan harmonisasi yang sangat kompleks. Fenomena ini menunjukkan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat. Dinamika sosial ini menjadi sangat dinamis dan harmonis dalam bingkai dan prinsip keimanan, keadilan, nalar produktivitas, serta etika.

Kondisi yang dinamis ini berjalan seiring dengan kebutuhan yang ada dengan mengikuti fenomena unsur-unsur yang ada di BMA. Artinya, DPS sebagai unsur yang memberikan pertimbangan dan pengawasan sangat teliti, karena terkait bidang keimanan dan keagamaan. Sedangkan Badan, selain sebagai perancang program dengan sangat hati-hati dalam menyusun program. Jika program tidak disetujui oleh DPS, maka program tidak dapat dijalankan. Sedangkan Sekretariat sebagai unsur pelayanan terhadap penyelenggaraan dapat melaksanakan sesuai petunjuk Badan. Fenomena inilah menjadikan BMA unik, spesifik, dan khusus dibandingkan dengan Baznas di Indonesia. 

Keunikan sistem manajemen BMA mengikuti fenomena dan problema dalam masyarakat, baik muzakki-mustahik ataupun kondisi sosial yang ada. Kondisi dinamis ini juga menjadi kekhasan BMA dalam menjalankan roda manajemen pemerintahan di Aceh. Akhirnya, BMA menjalankan fungsi manajemen berdasarkan semangat amanah dan profesional. Wallahua’lam.

Editor: Riza Rahmi.