Asnaf Riqab Dalam Praktik Penyaluran Zakat di BMA

  • Share this:
post-title


 Oleh Dr. Abdul Rani Usman, M.Si

Anggota Badan BMA

 

Riqab merupakan salah satu dari asnaf zakat. Riqab dimaknai dengan budak, yaitu orang yang dipekerjakan oleh majikan. Seseorang diperbudak pada zaman klasik karena hutang, tawanan perang atau kerja paksa di luar kemampuan seseorang,  sehingga seseorang yang diperbudak tidak dapat pergi ke mana pun karena ia diikat oleh perjanjian dengan tuannya atau dengan negara yang menjajahnya. Islam membebaskan manusia dari perbudakan dengan dalil yang kuat diantaranya at-Taubah ayat 60 dan Surat an-Nur ayat 33. Islam melarang keras melakukan perbudakan. Allah mewajibkan kaum muslimin menunaikan zakat guna diberikan kepada kaum tertindas, termasuk golongan budak. Peradaban klasik memperbolehkan memperbudak orang. Fenomena perbudakan tempo dulu menjadi tradisi universal yang dipahami masyarakat sebagai  tradisi dan budaya.

 

Pelarangan perbudakan menjadi salah satu cara  Islam untuk menghapus diskriminasi terhadap manusia lainnya. Memperlakukan manusia sebagai budak seperti disuruh kerja paksa di luar kemampuan manusia normal dan disandra untuk tidak pergi ke mana-mana merupakan sifat dan model perbudakan  yang terjadi tempo dulu. Seseorang diperbudak pada masa lalu erat kaitannya dengan utang, sehingga harus bekerja paksa. Belanda pernah memaksa buruh bekerja di luar batas. Kegiatan ini disifatkan dengan budak. Fenomena ini dipraktikkan oleh bangsa-bangsa dahulu yang belum beradab dan tidak memandang peri kemanusiaan.

 

Makna Riqab

 

Riqab adalah bentuk jamak dari Raqbah. Istilah ini berkaitan dengan pembebasan  atau pelepasan, seolah-olah Quran memberikan isyarat dengan kata kiasan ini bahwa perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya seperti belenggu yang mengikatnya. Membebaskan budak artinya sama dengan menghilangkan atau melepaskan belenggu yang mengikatnya. Artinya, zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak dan menghilangkan segala bentuk perbudakan (Qardhawi, 2007: 587). Perbudakan merupakan bentuk penindasan terhadap hak asasi manusia. Tujuan Islam hadir adalah menghapus perbudakan, salah satunya dengan jalan orang kaya menunaikan zakat, lalu amil menyalurkannya sesuai syariat, salah satunya kepada senif riqab (budak).

 

Seseorang diperbudak di luar kehendaknya sendiri. Bukti Islam menghilangkan perbudakan disebutkan dalam Surat An-Nur 33 sebagai berikut: ”…Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barang siapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyanyang  (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.” (QS An-Nur: 33). Fenomena perbudakan terjadi pada awal Islam, namun ayat ini dengan jelas menghapus perbudakan dengan memberi keringanan melalui perjanjian atau memberi zakat guna membebaskan mereka dari perbudakan.

 

Terkait dengan budak dan perbudakan, Shihab menafsirkan surat An-Nur ayat 33 di atas sebagai berikut: “Budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan untuk menjalin perjanjian dan kesepakatan dengan kamu untuk membebaskan diri dengan membayar uang pengganti sebagai imbalan kebebasan dan kemerdekaan mereka, maka hendaklah kamu wahai para pemilik budak-budak membuat perjanjian dengan mereka serta membantu mereka meraih kemerdekaannya jika kamu mengetahui yakni menduga ada kebaikan pada mereka yakni mereka akan mampu melaksanakan tugas dan memenuhi kewajiban mereka, tanpa menjadi pengemis serta mampu pula memelihara diri dan agama mereka” (Shihab, 2006, Volume 9: 339).

 

Shihab menafsirkan ayat ini, bahwa Islam memerintahkan agar memberikan kemudahan kepada budak-budak yang ingin menjaga kesucian dan ingin memerdekakan diri dari tuannya. Artinya, jika seorang budak ingin membuat perjanjian dengan tuannya, maka pemerintah wajib membebaskan mereka.

 

Hadits yang terkait dengan Riqab diantaranya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja orang yang memerdekakan seorang muslim, maka Allah pasti menyelematkan setiap anggota badan orang yang memerdekakan dengan setiap anggota badan orang yang memerdekakan dari api neraka (HR Al-Bukhari, Kitab Memerdekan Hamba Sahaya). Hadits terkait anjuran memerdekakan hamba sahaya banyak sekali, sehingga sangat cukup bukti bahwa Islam melarang perbudakan.

 

Menurut Qardhawi, mengutip Ali Abdul Wahid Wafi, Islam adalah ajaran pertama di dunia yang berusaha dengan segala cara untuk membebaskan dan menghilangkan segala bentuk perbudakan di dunia dengan cara bertahap. Islam telah menutup segala pintu yang memungkinkan adanya perbudakan di dunia ini. Allah mengharamkan dengan sangat tindakan memperbudak manusia atau melenyapkan kebebasan orang-orang yang merdeka, dewasa maupun kanak-kanak. Islam melarang secara mutlak seseorang menjual dirinya, anaknya maupun istrinya. Islam tidak pernah mensyariatkan terhadap orang yang berutang agar memperbudak dirinya demi membayar utang jika ia tidak sanggup membayar utangnya itu. Tidak pula orang melakukan jarimah, memperbudak dirinya, dengan sebab jarimahnya itu sebagaimana terjadi pada syariat terdahulu. Tidak pula memperbudak tawanan dengan zalim, karena perang yang berkecamuk di antara suku-suku tertentu karena hasad dan permusuhan (Qardhawi, 2007: 589-590).

 

Menurut Qardhawi, zakat diserahkan untuk menghilangkan sifat perbudakan. Merujuk kepada Yahya bin Said berkata: “Umar bin Abdul Aziz telah mengutus kepadaku untuk mengambil zakat penduduk Afrika. Setelah aku melakukannya, aku mencari orang-orang fakir untuk kuberi. Tetapi ternyata aku tidak menemukan orang fakir dan tidak menemukan pula orang yang mengambil zakat dari aku. Umar bin Abdul Aziz telah memakmurkan rakyatnya. Kemudian dengan harta zakat itu aku membeli budak-budak untuk kemudian kubebaskan (2007: 591). Rujukan Al-Quran-Hadits serta penafsiran ulama terhadap riqab menunjukkan pembebasan budak dan sifat perbudakan harus dihapuskan. Ajaran Islam dengan ini menunjukkan kesetaraan dalam pergaulan sosial bahwa semua manusia sama di mata Allah. Islam hadir salah satunya untuk menghapus perbudakan dan membela hak-hak kemanusiaan lainnya.

 

Secara global perbudakan sudah dilarang di seluruh dunia. Akan tetapi, sifat universal perbudakan terus terjadi terhadap orang-orang yang tertindas. Saat ini, banyak pekerja di prabrik, terutama pekerja Indonesia di negara maju, bekerja tanpa jam kerja yang jelas. Fenomena universalitas perbudakan terus bergulir seiring berjalannya waktu. Kecenderungan manusia meraih keuntungan dari manusia lain yang tidak sesuai dengan peri kemanusian itulah yang menjadikan asnaf zakat riqab sebagai pembela mereka.

 

Pekerja tersebut mendapat upah sangat minim, tanda identitas mereka ditahan, gajinya sedikit, dan  mendapat perlakuan kejam terhadap dirinya. Bahkan, ada manusia yang diperbudak secara seksual dan disuruh melacur. Ia memang bukan budak sebagaimana pada zaman Rasulullah dan zaman Khalifaurrasyidin atau di zaman Abraham Lincoln. Saat ini, penyifatan budak tersebut mirip dengan riqab. Fenomena ini jika ditelusuri secara sosial terpaut dengan sifat perbudakan, yang dipraktikkan  oleh majikan, baik di pabrik, perseorangan atau pun suku bangsa tertentu. Artinya, nilai-nilai universal manusia hilang karena perbudakan.

 

Kebingungan Makna Riqab

 

BMA sebagai lembaga perencana, pengumpul, penyaluran, serta pendayagunaan zakat sampai saat ini masih membagikan zakat hanya kepada tujuh asnaf. Sedangkan riqab belum didistribusikan, karena masih ada perbedaan penafsiran terhadap makna riqab. Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) BMA mendefinisikan riqab sebagai upaya pembebasan (bantuan pemberdayaan) orang yang dipersamakan dengan budak. Pada masa dahulu, riqab didefinisikan sebagai orang yang dimerdekakan (dikeluarkan) dari keadaan budak dengan tebusan. BMA belum merincikan kriteria praktisnya, termasuk bentuk bantuan yang akan diberikan.

 

Berikut beberapa rujukan terkait asnaf riqab yang dijadikan acuan dalam praktik penyaluran zakat di BMA:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BMA pada tahun 2022, membuat rapat kerja dengan Baitul Mal Kota/Kabupaten (BMK) guna mencari masukan dan berdiskusi dengan Dewan Pertimbangan Syariah tentang redefinisi makna riqab sesuai dengan kondisi global saat ini. Hasil diskusi ini menjadi referensi amil dalam meredefinisi makna riqab. Dalam diskusi,  60% mendukung bahwa riqab tersebut diberikan kepada orang yang tertindas seperti TKI yang bekerja di luar negeri. Sedangkan 40%  tidak setuju asnaf riqab  diberikan, karena mereka menganggap budak yang sebenarnya tidak ada lagi.

 

Hasil diskusi tersebut diolah lagi bersama tim BMA dengan DPS,  selanjutnya dibawa ke forum BMA yang melibatkan semua unsur di BMA. Hasilnya,  untuk sementara asnaf riqab belum dapat direalisasikan, karena masih ada perbedaan pendapat. Kesimpulannya, BMA akan membuat kajian lebih lanjut guna memaknai kembali semua asnaf berdasarkan al-Quran  dan Hadits, serta kajian para ulama sesuai dengan zaman global ini.

 

Secara filosofis, banyak ahli fikih masih memegang teguh pada logika sejarah riqab masa klasik, sehingga makna riqab yang dipahami adalah budak yang dimiliki seseorang. Budak model ini sesungguhnya tidak ada lagi. Akan tetapi, praktik dan pensifatan budak terhadap pekerja pabrik, pembantu rumah tangga yang gajinya sedikit tidak sesuai standar minimum masih banyak terjadi. Di samping itu, ada perdagangan manusia dan manusia diperbudak dengan menjual harga diri dengan disuruh melacur. Saat ini, mereka belum bisa dibantu dengan senif riqab, namun demikian, kajian BMA masih terbuka menerima masukan dan penafsiran terhadap semua asnaf, terutama asnaf riqab ini.

 

Editor: Sayed M. Husen

Tags: